" Ketika kita berniat dan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu,
kesempatan serta peluang seolah datang kehadapan kita dengan sendirinya "
* Aoi Sora *
Rabu, 06 Februari 2013
Sabtu, 24 November 2012
TRUTH or DARE
TRUTH or DARE
Nggak tau
kenapa belakangan ini semua anak di sekolah gue selalu memainkan permainan ini.
Tak mengenal kapan, dimana, dan bersama siapa. Bagaikan wabah penyakit yang
sedang merebak di lingkunagn sekolah. Sejujurnya permainan ini memang menyenangkan,
membuat perasaan tak karuan, degdegan, bahagia dan sebagianya. Permainan yang
bisa bikin seseorang di benci ataupun di sukai.
Pada dasarnya permainan ini sangat
mudah dilalukan. Hanya dengan duduk melingkar, menyanyikan sebuah lagu sambil
menepuk tangan atau mengoper sesuatu. Ketika lagu di hentikan, maka tepukkan
atau operan harus di hentikan. Pada siapapun itu berhenti, dia harus menerima
hukuman yang ada. Dia akan di beri kesempatan untuk memilih. Dia harus memilih antara
truth atau dare. Truth, seperti namanya, kita harus membuat suatu penggakuan
ataupun menjawab pertanyaan dari teman yang lain dengan jujur. Tidak boleh ada
kebohongan sedikitpun. Dan pada umumnya untuk mencegah ada yang berbohong
sebelum memulai permainan mereka akan membuat ancaman bagi yang tidak mau
menjagalakan hukuman dan yang berbohong.
Dare , jika memilih yang satu ini maka dia harus mau melaksanakan
tantangan yang akan di berikan, apapun itu. Sebagian besar orang lebih suka
memilih yang satu ini, karena dengan begitu mereka tidak perlu kawatir rahasia
mereka akan terbongkar. Karena alasan tadilah maka permainan ini di sebut TRUTH
or DARE.
***
Jam di dinding yang berada di dekat
pintu terus berdetak, jarumnya menunjukkan pukull 11:45, jam istirahat kedua.
Banyak murid yang berlalu lalang, keluar masuk kelas. Sementara itu gue dan Oca
sedang asik mengobrol di kelas kami, 11 IPS 2.
Oca
adalah teman sekelas sekaligus teman sebangku gue dari kelas sepuluh. Kami selalu membagi cerita bersama. Tak ada
rahasia antara kami berdua. Siang itu, kami duduk di kursi paling depan, dekat
meja guru. Gue nggak dapat melihat murid-murid yang berlalu lalang, karena
posisi duduk gue yang menghadap ke tembok.
Obrolan kami sedang mencapai
klimaksnya. Oca tengah bercerita mengenai seorang cowok yang baru saja pindah
kesebelah rumahnya. Tiba-tiba saja ucapan Oca terhenti. Matanya terpaku ke satu
arah. Dia terlihat sedang memfokuskan pandangannya.
“ Ocaaa,,, trus gimana certinya?” tanya
gue penasaran tanpa menghiraukan apa yang sedang dia perhatikan.
Oca tidak menjawab pertanyaan gue. Dia
justru menyenggol lutut kiri gue dan matanya memberi isyarat untuk melihat
keluar kelas. Dengan isyarat yang di berikan Oca, gue menoleh kearah yang dia
tunjukkan. Disana berdiri segerombolan murid cowok. Mereka bukanlah salah satu
dari teman sekelas gue, mereka murid kelas 11 IPA 2. Awalnya gue sedikit
bingung, ada apa anak IPA mampir ke kelas IPS. Di sekolah gue anak IPA dan IPS
memang jarang berinteraksi selama jam sekolah. Hal ini dikarenakan kelas kami
yang terletak bersebrangan. Pasalnya murid IPA berada di gedung sebalah barat
sementara murid IPS berada di gedung sebelah timur, sedangkan gedung sekolahnya
sendiri berbentuk leter U yang mengarah
ke utara. Sebagai pembatas murid kelas 10 berada di tengah-tengah.
Kembali ke topik! Dari segerombolan
murid cowok itu, ada satu yang menarik perhatian gue. Orang yang berdiri paling
depan, sosok yang selama ini gue suka. Cowok dengan jaket hitam kehijauan,
rambutnya yang sedikit ikal dengan ada bagian yang nyaris menutupi alisnya, dan
badannya yang menjulang diantara murid cowok lainnya. Rendi namanya. Cowok yang
selalu gue idam-idamkan, yang selalu muncul dalam setiap hayalan gue.
Melihatnya datang kekelas gue, hati gue
terasa bahagia. Mawar pink bertebaran di atmosfer. Sesekali gue mencuri pandang
kearahnya sambil berpura-pura memerhatikan orang yang berlalu lalang. Wajahnya
terlihat bingung, matanya menjelajahi seisi kelas. Memandang dari sudut ke
sudut. Hingga tanpa sengaja mata kami bertemu. Spontan gue memalingkan muka.
Menyembunyikan wajah gue yang mulai memerah karena bahagia.
Oh my god! Barusan mata kami bertemu. Hal
yang kecil tapi bisa membuat gue jadi bahagia gini. Seandainya aja dia lebih
sering mampir kekelas gue, mungkin gue bakal dikira kepiting rebus, gara-gara
muka yang merah terus.
“ Fira, dia ke sini tuh.” Oca menggerakkan
kepala nya pelan. Oca dari tadi hanya terdiam sambil menahan tawanya melihat gue
yang salah tingkah.
“ Ih Oca bukannya nolongin temennya
yang lagi salah tingkah, malah di ketawain.” Keluh gue pelan.
Gue berusaha menengakan diri dan
berusaha menyembunyikan perasaan gue. Kembali gue arahkan pandangan ke pintu
masuk. Benar saja, Rendi sedang berjalan kearahgue. Setiap langkah kakinya
membuat jangtung gue berdetak semakin kencang. Suranya kayak beduk lebaran atau
mungkin terompet tahun baru. Semakin dekat Rendi melangkah, semakin cepat juga
jantung gue berdetak. Bahkan sekarang gue bisa mendengar detakkannya. Tak
berselang lama Rendi sampai didekat tempat duduk gue dan dia menghentikan
langkahnya tepat di samping gue. Dengan ragu-ragu gue mengangkat wajah yang
tertunduk ini.
Bahagia memenuhi lubuk hati gue. Jantung gue
berdetak tak karuan. Bagai suara kembang
api di malam tahun baru yang saling beradu keras. Menggambarkan perasaan gue
yang juga tak karuan. Bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Gambaran
dirinya memenuhi ruangan di otak gue. Dimata gue kini hanya ada wajahnya yang
tengah melihat ke arah gue.
“
Lo Shafira kan?” tanyanya pada gue dengan sebuah senyuman lembut terkembang di
wajah rupawannya.
“
Ng..ngg...iya..gue..Shafira. Kenapa ya?” nggak tahu mengapa rasanya badan gue
nggak mau dengerin perintah gue. Sampai-sampai mau ngomong aja gagap. Kenapa
sih ketika gue berada tepat dihadapan cowok yang gue suka bibir gue jadi kaku.
Sulit untuk menyembunyikan perasaan suka gue ke dia, kalau gue sendri jadi
salah tingkah kayak gini.
“
Gue mau bilang... kalau.. gue...” dia menghentikan ucapannya sejenak, membuat gue
semakin penasaran. Seutas harapan terlintas di benak gue. Please, jangan sampai
gue pingsan disini gara-gara kelewat bahagia. “Gue suka sama lo. Mau nggak lo
jadi pacar gue?” lanjutnya.
Apa
gue nggak salah denger nih. Rendi nembak gue? Mimpi apa semalam? Jantung gue
berdetak semakin kencang. Kalau jangtung gue bisa keluar, pasti sekarang dia
udah lompatan kemana-mana saking girangnya. Rasanya gue mau ngumumin ke dunia
kalau barusan Rendi nembak gue. Ya tuhan kalau pun ini cuma mimpi, biarkan gue
menikmati semua ini lebih lama. Dan jangan bangunkan gue dari mimpi indah ini.
“Mau
nggak?” tanyanya lagi.
“
Iya, gue mau.” Jawab gue dengan malu-malu. Gue yakin pasti sekarang muka gue
merah banget. Nggak pernah gue kira bahwa akhirnya mimpi gue jadi nyata.
Murid-murid
cowok yang tadi berdiri di depan kelas gue dan menonton adegan romantis ini,
sekarang mulai masuk satu persatu. Mereka semua tertawa dengan rasa puas dan
kagum tergambar di wajah mereka.
“
Udahkan?” Rendi membalikkan badannya
dengan raut wajah yang mulai berubah. Salah satu dari murid cowok itu merangkul
pundak Rendi. Cowok yang udah gue kenal. Dia adalah Aldi. Aldi, temen sekelas gue
waktu di kelas sepuluh. Aldi tertawa kearah Rendi yang terlihat mulai jengkel.
“
Yup lo lulus. Salut gue sama lo. Bener-bener ngeyakinin banget bro. Kalau gue
nggak tahu apa-apa , pasti gue kira lo nembak Fira beneran.”
Perkataan
Aldi barusan ngebikin gue bingung. Maksudnya apa ‘ngira nembak gue beneran’?
Rasa bahagia yang tadi memenuhi lubuk hati gue mulai sirna diganti rasa bingung
dan cemas. Oca yang dari tadi menyaksikan kejadian itu juga mulai bingung. Gue memberanikan diri bertanya pada Aldi tentang apa yang sebenarnya
terjadi.
“
Di, maksud lo apa deh. Emangnya lo lagi pada ngapain sih?” tanya gue harap-harap
cemas.
“
Oh ini, anak kelas gue lagi pada main truth or dare. Trus Rendi kena dan dia
maunya dare. Gue suruh aja dia buat nembak lo dan kalau lo ngejawab iya berarti
dia lulus. Yeah, lo kan susah bilang iya kalau ada yang nembak. Haha” tawa menghias
seluruh wajah murid cowok yang tadi datang bareng Aldi dan Rendi. Gue Cuma bisa
diem, menyimpan sejuta rasa malu.
“
Thanks ya Shafira..... Buat yang tadi, lo lupain aja. Anggep nggak pernah
terjadi.” ucap Rendi cuek.
Gue
hanya diam membisu. Otak gue masih terlalu lemah untuk membaca situasi yang
ada. Akhirnya bel tanda masuk bernbunyi. Sekarang semua udah balik ke kelas
masng-masing. Kebetulan guru sosiologi gue
lagi nggak masuk.
Oca
menghelus lembut pundak gue yang masih tertunduk diam sejak kejadian tadi. Dia
tahu betul apa yang sedang gue rasakan saat ini. Perasaan gue hancur
berkeping-keping. Di bawa terbang ke luar angkasa kemudian dilempar ke bumi dengan
kecepatan cahaya dan langsung menghantam permukaan bumi. Begitulah perasaan gue
saat ini. Butiran debu yang memehuni setiap sudut ruangan.
“
Occa,, rasanya gue mau marah, nangis, teriak, pokonya gue kesel banget. Tapi
gimana? Ini kan sekolah, gue bisa apa coba? Sumpah gue nggak habis pikir, kok
semuanya jadi kayak gini? Nih ya, kalau gue bisa benci sama dia pasti gue udah
benci. Tapi gue nggak bisa.” ucap gue yang masih duduk terdiam dengan wajah
yang tak karuan.
“
Sabar Fir, jangan nangis.” Oca terlihat mulai panik.
“
Siapa yang nangis? Gue tuh cuma nggak nyangka, kenapa sih mereka jadiin gue
taruhannya. Sialan banget tuh Aldi. Kenapa harus gue? Kenapa juga harus Rendi
yang pura-pura nembak gue? Sumpah PHP banget. Dan begoknya, gue percaya gitu.” Semakin gue mengingat kejadian tadi, semakin
sesak dada ini.
“
Yah Fir, itukan bukan salah Aldi. Lo tahu sendirikan, Aldi tuh nggak tahu kalau
lo suka sama Rendi. Lo harus tetep semangat! Semangat! Semangat!” hibur Oca.
“
Gue ngerti Ca, tapi lo liat nggak sih tadi. Rendi tuh nyatain perasaan nya
dengan muka serius, that’s so real, dan
dengan gampangnya dia nyuruh gue buat ngelupain itu dan anggap itu nggak pernah
terjadi. Kejam banget. Rasanya hati gue diiris-iris. Sakit Ca, sakit!” Muka gue
udah dipenuhi sama kerutan. Gue Cuma bisa cemberut disamping Oca. Serba salah.
Mau mara, sama siapa? Mau nangis, buat
apa? Apapun yang gue lakuin toh semuanya udah terjadi.
Oca
merebahkan kepalanya di samping gue yang hanya tertunduk diam. Oca memeluk gue,
untuk menyemangati gue.
“
Tenang aja Fira. Gue ada disini buat lo, kita kan sahabat.” Ucappannya Oca
membuat air mata gue perlahan mulai berhenti. Gue memeluknya balik dengan erat.
Thanks to Oca, tanpa dia gue nggak tahu harus ngapain. Bisa tambah malu gue
kalau temen sekelas gue pada tahu, gue suka sama Rendi. Mau ditaruh dimana nih
muka? Seenggak nya gue masih punya sahabat yang selalu ada buat gue, walaupun
dia nggak bisa ngilangin rasa sakit dan sesak di dada gue.
***
Sesak, perih, sakit, malu, semuanya
bercampur aduk. Seandainya bisa gue bisa menghilang dari muka bumi ini. Gue
pasti udah ngilang dan gue nggak harus ngerasain semua ini. Dengan langkah yang
tak tentu, gue berjalan menuju kamar gue tercinta. Seketika badan gue lemas. Terduduk lemas di
balik pintu dengan badan tersender pintu. Air mata yang dari tadi gue tahan,
kini tak tertahankan lagi. Isak tangis dan teriakkan memenuhi seisi kamar .
“
Fira,,,,Ra,, kamu kenapa?” gue bisa
mendengar jelas suara nyokap gue dari balik pintu ini.
“Nggak..
ma Fira nggak apa-apa kok. Tadi Cuma ada kecoak aja.”
“
Oh yaudah kalau gitu. Jangan lupa makan ya! Mama masak ayam bakar kesukaan
kamu.”
“Iya
ma, nanti Fira makan.”
Kamar
ini jadi pelampiasan gue. Semua terlihat begitu kacau, seperti baru kena angin
topan. Tapi perasaan gue belum juga membaik. Rasa itu masih sama namun tenaga
sudah tidak ada. Alunan lagu yang keluar dari radio yang hidup kena lembaran
botol miinum membawa gue ke alam mimpi. Hingga terlelap dalam tidur. Mengakhiri
mimpi buruk ini, untuk sementara.
***
Dua hari telah berlalu sejak hari itu.
Semua berjalan seperti biasanya. Tak ada satu pun yang berubah. Begitu juga
perasaan gue, masih campur aduk sperti waktu itu. Hati gue bukan sebuah
komputer atau kartu memory yang bisa di format ulang. Gue udah berusaha buat
ngelupain dia, tapi nggak semudah itu buat ngilangin perasaan yang terlanjur
ada.
Kelas
gue berubah jadi cafe dadakan. Anak-anak lagi pada sibuk sendiri. Ada yang
ngobrol, makan, minum,tidur, dengerin lagu dan sebagainya. Seharusnya sekarang kelas
gue belajar Matematika, namun kebetulan bu Tuta sedang keluar kota. Dan satu
lagi, hari banyak anak-anak yang nggak masuk. Alasannya bermacam-macam, dari
sakit, bolos sampai ditugasin keluar.
Badan
gue rasanya lemes semua, gue Cuma diam sambil ngerebahin kepala gue diatas
meja. Oca yang melihat gue lemes terus kelihatannya mulai khawatir.
“Fira,
lo sakit ya?” di wajah Oca jelas terlihat kekhawatiran. Oca meletakkan
tangannya di dahi gue, buat ngecek apakah gue sakit atau nggak.
“
Apaan sih ca? Gue nggak apa-apa kok Cuma ngantuk aja.” Elak gue sambil
ngelepasin tangan Oca dari dahi gue.
“
Lo yakin Cuma ngantuk? Tapi lo lemes
banget. Ini pasti gara-gara....”
“
Rosa,,, gue nggak apa-apa kok. Liat nih! Gue udah move on kok. Gue udah
ngelupain semua tentang dia. Semuanya. Jadi lo nggak usah kawatir! Blee.. “ gue
menghentikan perkataannya dengan menjulurkan lidah. Yang di balas dengan cubitan
darinya.
“
Ih Fira orang serius dia malah becanda. Nggak lucu tahu.” Sewot Oca. Kami
berdua tenggelam dalam tawa. Namun dibalik setiap tawa dan canda gue bareng Oca
tersirat seberkas kepedihan yang nggak dia ketahui.
Sejujurnya
gue sama sekali belum bisa ngelupain Rendi. Suaranya waktu nembak gue dan
nyuruh gue buat nganggep nggak pernah terjadi apa-apa juga masih terngiang di
kuping gue sampai hari ini. Dan bilang kalau gue udah ngelupain dia, rasanya
kayak ngiris hati gue sendiri. Nggak ada niat untuk ngeobohongi Oca tapi mau
gimana lagi, gue nggak mau kalau sahabat gue jadi kawatir. Udah cukup semuanya
sampai disini aja.
“
Main truth or dare yukk!” teriak salah seorang teman sekelas gue.
“
Ide bagus tuh. Semua harus ikut ya! Wajib! Kalau nggak ikut veter.” Sambung
yang lainnya. Sontak teman-teman sekelas gue yang tadinya sibuk sendiri,
sekarang udah maju kedepan dan duduk dengan formasi bentuk lingkaran. Mendengar
kata TRUTH OR DARE, masih membuat dada gue sakit. Tapi paling enggak, gue bisa
nyibukin diri dan bikin ngelupain apa yang udah terjadi. Gue pun duduk di
sebelah Oca.
Setelah
semua anak duduk dengan rapi, permainan pun dimulai. Entah ini hari
keberuntungan gue atau kesialan gue? Baru dimulai gue udah kena. Daripada nanti
rahasia gue kebongkar, gue milih dare. Anak-anak nantang gue buat naik keatas
meja sambil nari-nari nggak jelas. Siapa takut? Selama ini nggak didepan orang
yang gue suka dan nggak ada rahasia gue yang kebongkar. Hukuman buat gue pun
selesai.
Permainan
dilanjutkan lagi, satu persatu teman gue kena hukuman. Lagu demi lagu telah
dinyanyikan, hukuman demi hukuman telah diberikan. Tak terasa waktu pelajaran
sudah akan usai. Namun, tak satupun dari
kami yang inging menghentikan permainan yang tengah berlangsung ini.
Suasana semakin seru. Banyak rahasia yang telah terbongkar.
Sebuah
tepukkan tangan mendarat di telapak tangan gue. Semua mata tertuju pada gue.
Sialan, ternyata lagi-lagi gue kena giliran. Wajah teman-teman sekelas gue,
seketika berubah. Kelicikan, terlihat di wajah mereka. Perasaan gue mulai nggak
enak.
“
Gue milih dare ya...” ucap gue ragu. Sebuah lebar dengan rasa khawatir
terpampang di wajah gue.
“
Mana bisa? Tadi lokan udah milih dare, masa mau dare lagi.” sambung salah
seorang teman sekelas gue.
“
Yah kok gitu? Ayolah baik deh.”
“
Nggak bisa. Peraturan tetap peraturan!” ucap Puput dengan tegas.
Puput
-wakil ketua kelas- beserta anak yang lainnya membentuk lingkaran dan
merundingkan pertanyaan apa yang akan di berikan pada gue. Terdiam dalam harap.
Ketakutan jelas terpancar di wajah gue. Detak jantung gue mulai tak karuan,
menunggu keputusan mereka. Harusnya, ini Cuma permainan tapi entah mengapa
jantung gue rasanya mau copot. Setelah
melewati perundingan yang alot, mereka memutuskan pertanyaannya.
“
Jujur ya! Siapa cowok yang lo suka di sekolah ini? Jujur lo jangan bohong!”
pertanyaan Puput seketika membuat mata anak-anak tertuju pada gue. Tatapan
mereka begitu tajam, menunggu jawaban yang akan gue berikan.
Dalam
keadaan seperti ini seketika,pikiran gue kosong, badan gue lemas. Nama Rendi
memenuhi otak gue. Rasanya gue ingin meneriakkan namanya, agar ketegangan ini
berhenti. Namun, setelah kejadian dua hari yang lalu. Tak ada keberanian untuk
mengucapkan namanya. Gue ngalihin pandangan gue ke Oca. Dia hanya membalas
dengan mengangkat pundaknya pelan sebagai tanda bahwa dia menyerahkan semuanya
pada gue.
Detik
demi detik terus berlalu. Mereka terlihat mulai merasa geram dengan gue yang tak
kunjung menjawab pertanyan itu.
“
Shafirra... cepet jawab!” teriakkan itu sontak membuat gue makin bingung.
“
Gue......hhmmmmm....” gue berusaha untuk mengucapkan apa yang harus gue
katakan. Bibir ini tidak mau mendengarkan perintah gue. Kata demi kata rasanya
sulit untuk diucapkan. Bibir gue seolah membeku.” Gue suka sama Rendi.” Bisik
gue, berharap nggak semuanya mendengar dan mereka akan menghentikan semua ini.
“
Siapa? Nggak kedengeran Fira.” Ucap Puput yang disambut teriakkan dari
anak-anak yang lain. Gue ngerasa jadi orang paling bego. Pertanyaan segampang
itu, harusnya gue bisa jawab dalam lima detik.
“
...R...ee..ndi.”
“
Maksud lo Rendi anak IPA 2?” Puput terus saja memojokkan gue. Please, stop it!
Sumpah gue nggak kuat. Rasanya air hujan mau turun dari mata gue. Perasaan gue
meletup-letup kayak kompor yang mau meledak.
“
GUE SUKA SAMA RENDI ANAK IPA 2. Puas lo semua.” Tanpa gue sadari gue berteriak
ke anak-anak. Mereka hanya terdiam kaget, mendengar teriakkan gue barusan. Dan gue baru sadar kalau teriakkan tadi
kedengeran sampai kekelas lain.
Dengan
rasa malu gue narik tangan Oca dan segera ngajak dia kekantin. Gue berjalan
kearah pintu kelas yang sudah terbuka. Tanpa diasadari bel istirahat telah
berbunyi dari tadi. Disana ada beberapa anak kelas lain yang menatap gue dengan
pandangan setengah terkejut. Kelihatannya mereka dengar pernyataan gue.
Belum
sampai gue keluar kelas. Tepat di depan pintu berdiri seorang cowok dengan
badan yang menjulang diantara anak-anak yang lainnya. Sosok yang nggak asing
buat gue. Gue mengangkat wajah gue buat mastiin siapa sebenernya cowok itu.
Betapa terkejutnya gue? Ketika gue sadar cowok itu adalah Rendi. Sekejap badan
gue rasanya beku. Sekilas gue ngerasa dia mandangin gue dengan tatapan yang
aneh. Betapa bodonya gue? Pasti dia ill feel sama gue.
Gue
bersikap seolah nggak terjadi apa-apa. Sebuah senyum polos gue lemparkan
padanya. Oca yang sadar sama apa yang gue rasain, gantian narik tangan gue dan
kami mempercepat langkah kami. kami berjalan menuju perpustakaan. Tempat yang
sepi dan jarang dikunjungi jam istirahat.
Perjalanan
dari kelas gue ke perpustakan yang hanya memakan waktu lima menit terasa
bagaikan lima puluh menit. Secara otomatis gue melangkahkan kaki ke arah meja
yang ada di pojok. Diikuti Oca yang berajalan dibelakang gue. Sebelum duduk Oca
ngambil satu buku buat dia pegang. Biar kelihatannya disedang membaca. Di balik
buku itu gue Cuma tertunduk diam membisu. Oca menepuk-nepuk pundak gue untuk
menyemangati gue yang lagi terpuruk.
Tak
pernah terbayang sebelumnya, rasa suka gue yang selama ini gue pendam berubah
jadi bencana buat gue. Apakah ini sebuah kesalahan buat suka sama seseorang?
Kenapa semua jadi begini? Semua datang bertubi-tubi. Yang anehnya semua ini
berawal dari Truth or Dare. Mulai dari dia pura-pura nembak gue sampai
pertanyaan suka gue di depan umum. Kalau biasanya gue udah kekantin, sekarang
gue sama sekali nggak ngerasa laper. Gue udah kenyang sama semua hal yang
memalukan ini. Sudah hampir setengah jam berlalu. Oca masih setia menemani gue
yang masih berusaha menahan air mata. Bel masukpun berbunyi, menandakan
dimulainya penderitaan gue yang baru.
Langkah
kaki gue terasa lebih berat daripada biasanya. Pintu masuk kekelas terlihat
begitu menakutkan. Berapa anak cowok yang sedang berdiri memerhatikan gue. Gue
berasa kayak artis dadakan. Dengan kebulatan tekad gue memasuki kelas.
Diluardugaan, tak satupun dari teman sekelas gue yang membahas apa yang baru saja
terjadi.
Detik
demi detik berlalu. Menit demi menit berlalu. Jam demi jam juga terus berlalu.
Suara bel yang memekakan telinga menutup pelajaran yang membosankan itu. waktu
berjalan begitu lambat. Hari ini Oca janji buat nganterin gue pulang. Kami
berjalan bersama-sama ketempat parkiran. Oca tetap berusaha untuk menghiburku.
“
Ayolah Fir, semangat! Masa lemes sih? kan nggak seru!”
“
Tenang aja aku nggak apa-apa kok. Emang kayaknya gue kurang makan nih jadi
lemes gini deh.”
“
Rosa, kesini sebenta! Ibu mau minta tolong sebentar.” Ditengah-tengah obrolan
gue dan Oca, bu Ai guru Bahasa Inggris kami meminta bantuan pada Oca.
“
Yah, Fir. Gue dipanggil bu Ai nih. Lo duluan aja ke parkiran sana! Nanti gue
nyusul.” Usul Oca.
“
Yaudah, jangan lam-lama! Gue mau cepet-cepet nyampe rumah. Capek nih.”
“
Sip deh tenang aja.” Oca berjalan di balakang bu Ai. Gue berjalan ke arah
perkiran yang nggak jauh. Otak gue masih sama kayak tadi. Kosong dan nggak tahu
harus ngapain.
Motor-motor
berjajar dengan rapinya. Menuggu dengan setia hingga pemiliknya kembali.
Berbagai jenis motor terparkir disana. Namun ada satu yang terlihat menarik.
Motor Oca yang kecil ia parkirkan didekat sebuah motor yang tinggi. Bagiku
sekilas ini terlihat begitu lucu.
Gue
menunggu Oca tepat disebelah motornya. Tas gue bergetar. Sepertinya ada
panggilan di hp gue. Gue melepas tas ransel yang gue kenakan. Ketika sedang
mengambil hp , tanpa sengaja gue ngejatuhin kunci rumah gue.
Di
layar hp gue tertera nama Oca. Segera gue angkat panggilan itu.
“
Fira.” Suara Oca terdengar begitu jelas.
“
Iya ca. Kenapa?”
“
Kayaknya gue bakal lama deh. Kalau lo mau duluan, duluan aja! Nggak apa-apa
kok.”
“
Ah gue males pulang sendirian. Gue nungguin lo disini aja deh.”
“
oh yaudah kalau gitu. Tapi lama nggak apa-apa nih? Sorry ya.” Suara Oca
terdengar lirih.
“
yailah Ca, santai aja kali. Gue juga males pulang sendiri. Gue tunggu ya!”
“
Iya deh. Bye.”Oca mengakhiri pembicaraan kami di telpon. Gue jadi penasaran Oca
lagi ngapain ya? Ah tapi guekan udah bilang kalau gue bakal nunggu disini. Gue
nugguin dia aja deh.
Gara-gara
tadi cepet-cepet ngangkat telpon dari Oca, gue sampai lupa. Kunci guekan jatuh.
Tepat ketika gue ngebalikin badan buat ngambil kunci itu, ada seseorang yang
udah berdiri dibelakang gue. Sontak dia dan gue kaget. Badan kami seolah
terdorong kebelakang. Hampir saja gue hilang keseimbangan. Beruntung gua nggak
jatuh.
“
Sorry.”
“
Gue juga minta maaf udah ngagetin lo. Oh iya ini kunci lo ya Shafira?”
“
Hah iya. Thanks ya. Kok lo tau n......”
gue ngentiin ucapaan gue ketika gue sadar kalau yang nemuin kunci gue
itu Rendi. Rendi menatap gue dalam-dalam. Jantung gue mulai berdetak nggak
karuan. Gue nggak ngerti harus ngapain.” Sekali lagi thanks ya.” Gue nggak
berani lama-lama berdiri di hadapan dia. Sebisa mungkin gue pergi dari sana.
“
Eh bentar.” Belum sempat gue pergi Rendi udah narik tangan kiri gue. Dengan
berat hati guepun berhenti.
Gue
berusaha bersikap biasa. Seolah nggak terjadi apa-apa. Gue narik napas dalam
dan mulai berbicara.” Kenapa?”
“
Eh sorry..” Rendi melepas genggamannya di tangan gue. Walaupun tangannya udah
nggak megang tangan gue tapi gue masih bisa ngerasaiin hangatnya genggamannya.”
Gue Cuma mau nanya.....yang lo bilang tadi beneran?” Wajah Rendi terlihat
ragu-ragu.
“
Maksudnya?” entah mengapa gue nggak ngerti apa yang dia ucapkan.
“
Maksud gue....lo beneran suka sama gue?”
Mati
gue! Pertanyaan Rendi barusan, kayak peluru yang ditembakin tepat kesasaran.
Mimpi apa gue? Gue ngaku kalau gue suka sama cowok, di depan cowok itu dan di
depan teman sekelas gue. Betapa bodohnya gue? Sekarang gue harus jawab apa?
“
Hmmmm... sebenernya... sebenernya..” sekali lagi bibir ini membeku.
“
Sorry kalau gue nanya kayak gini ke lo. Tapi gue harap lo jawab dengan jujur!”
perkataan Rendi bagaikan mentari yang menyinari bibir gue yang membeku.
Dengan
sebuah tarikan napas yang panjang, gue mulai memberanikan diri. “ iya, semua
yang gue bilang itu bener. Gue suka sama lo dari pas pembagian kelas. Tapi lo
tenang aja, gue ngerti kok kalau lo nggak suka sama gue. Dan gue Cuma harap lo
nggak akan ngebenci gue ataupun iil feel sama gue.” Rasanya mata ini hampir
bocor. Kelopak mata ini sudah tidak kuat menahan air mata yang tertampung sejak
tadi.
Raut
wajah Rendi mulai berubah. Apa dia bakal benci sama gue? Gue bakal nerima apa
pun yang akan terjadi. Sesekali gue mejamin mata. Dada gue mulai terasa sesak.
Perasaan campur aduk memenuhi dada gue. Rendi memegang pundak gue.
“
Gue nggak bakal benci atau illfeel sama lo. Gue malah mau minta maaf, gara-gara
ucapan gue waktu itu. Sumpah gue sama sekali nggak tahu kalau lo suka sama gue.
Seandainya gue tahu, gue nggak bakal mau pura-pura nembak lo dan nyuruh lo buat
nganggep semua itu nggak pernah terjadi.” He’s so gentle. Di keadaan kayak gini
cowok lain pasti udah nganggep ngerasa ill feel sama gue dan bahkan ngeledek
gue. Tapi Rendi nggak. Dia justru ngerasa bersalah. Itulah yang bikin gue suka
sama dia. Di wajahnya jelas terpancar rasa bersalah.
“
Nggak kok Ren, ini bukan salah lo. Nggak ada yang salah. Mungkin emang udah
takdirnya gue kayak gini.”
“
Sumpah ra, gue nggak enak sama lo.” Suara Rendi yang berat seolah menggema di
otak gue. Sepercik harapan mulai tumbuh di hati gue.
“
Yaudahlah...nggak usah dipikirin. Mungkin emang seharusnya kita nganggep semua
ini nggak pernah terjadi.” hari gue teriris. Gue nggak mau harapan ini terus
tumbuh. Gue takut bakal berakhir menyakitkan. “ Udah ya gue mau nyusulin Oca.”
“
Shafira, kalau kayak gitu ini nggak adil buat lo. Gimana kalau kita mulai dari
awal, jujur semenjak gue disuruh nembak lo. Lo menarik perhatian gue, nggak
tahu kenapa? Tapi yang jelas gue pengen lebih ngenal lo.” Sebuah senyuman
terukir di wajahnya yang tampan.
“
Maksudnya?” Rendi tidak menjawab pertanyaan gue barusan. Ekspresinya berubah.
Tangannya menutupi wajahnya. Tak lama, dia tertawa. “ ihh ditanyain kok malah
ketawa?” Rendi masih saja tertawa. Dia
nggak nanggepin pertanyaan gue. Hal ini bikin gue salah tingkah, gue jadi
bingung. Apa gue ngelakuin sesuatu yang salah?
“
Sorry...sorry...abisan lo tuh lucu banget sih. Masa gitu aja nggak ngerti?”
“
Iya maaf kalau gue lemot. Gue emang nggak sepintar lo yang anak IPA dan anggota
KIR. KIR yang isinya orang pinter semua.”
“
Yah jangan marah dong. Gitu aja kok marah?” Suasana diantara gue dan dia mulai
berubah. Rasa takut gue perlahan-lahan mulai menghilang.” Maksud gue,For this
time, let’s be friend!” Rendi mengulurkan tangan kananya. Gue menyambut uluran
tangan itu dengan senyuman kebahagian. Senyumannya membuat gue lupa semua yang
udah terjadi.
“
Gue Rendi.”
“
Gue Shafira, tapi lo bisa manggil gue Fira.” Balas gue.
Tak
pernah sebalumnya, tak pernah gue duga, kalau gue bisa deket sama dia. Jabat
tangan ini adalah awal dari hubungan kami. Angin bertiup lembut, memberi
selamat pada gue. Saking senangnya gue pengen loncat. Kami berdua tenggelam
dalam tawa hingga Oca muncul.
Oca
menatap gue dengan tatapan penuh tanya. Namun, gue terlalu bahagia buat
nyeritaan semua ini sekarang. Dengan muka yang bete Oca menghidupkan motornya.
Rendi yang telah berdiri di dekat motornya melambaikan tangan ke gue. Jantung
gue yang tadinya nggak karuan, sekarang mulai berdetak mengikuti sebuah irama.
Irama kebahagian. Lambaian tangan mengakhiri hari gue yang aneh.
***
“
Fira, lo mau makan apa? Biar gue traktir.” Ucap Oca disela langkah kami menuju
kantin.
“
Apa ya?... Oh iya gue mau bakso, mie ayam, pop ice, trus...”
“
Waduh, gue bisa bangkrut kalau kayak gitu. Jangan banyak-banyak dong Fir. Itu
perut apa gentong?” Oca memotong perkataan gue yang mulai ngelantur. Hari ini Oca
janji mau traktir gue. Dia baru jadian sama Adi, tetangga barunya yang waktu
itu pernah dia ceritain ke gue.
“
Hahaha... iih apaan sih Ca? Iya-iya, gue maunya di traktir soto seporsi sama
minumnya teh poci. Deal?”
“
Hmmmm.. deal.”
Setelah
membeli apa yang kami inginkan, kami berdua duduk di kursi paling pinggir dekat
jalan menuju kantin. Gue bahagia jika sahabat gue yang satu ini bahagia. Hari
ini, satu bulan setelah kejadian truth or dare waktu itu. Untung nggak ada
anak-anak yang ngungkit-ngungkit masalah itu.
Oca
lagi sibuk meniup sotonya yang panas. Gue sendiri lebih milih buat nunggu
sotonya dingin dulu, dan sambil nunggu gue minum teh poci. Tiba-tiba Oca
menghentikan aktivitasnya.
“
Fir, lo sama Rendi gimana?” sontak
pertanyaan Oca mangagetkan gue.
“
Gimana apanya? Ya nggak giman-gimana.”
“
Ihh Fira, maksudnya lo ada niat buat jadian nggak sama dia? Secara, sekarang lo
kan udah deket sama dia.”
“
Kalau itu sih, biarin waktu yang ngejawab.”
Oca jela terlihat tidak puas dengan jawaban gue. Tapi sekarang gue emang
Cuma mau nikmati apa yang ada.Tanpa mikirin Oca yang maish penasaran, gue tetep
ngelajutin minum teh poci.
“Aduh
gue haus banget nih, bagi ya Fir!” Keasikan gue terhenti ketika seseorang
ngerebut minuman gue dari belakang.
“Ihh
apaan sih lo...” gue memalingkan wajah
gue kearah orang yang udah minum minuman gue. “ Rendiiiiii.....ke biasan banget
sih lo!”
“
Yailah Fir, jangan pelit sama gue!” Rendi mengacak-ngacak rambut gue.
“
Rennndiiiii.....” teriak gue ke kupingnya.
“
Fira, jangan teriak di kuping gue!” Rendi memegang kuping kirinya.” Rosa gue
minjem Firanya ya.” Tanpa minta ijin sama gue terlebih dahulu, Rendi langsung
menarik tangan gue. Oca hanya mengangguk, dia terlihat senang melihat gue
sengsara begini.
“
Rendi gue kan mau makan, lagi ditraktir soto sama Oca. Sotonya belum gue makan
lagi.” ucap gue dengan wajah memelas.
“
Udah nanti gue traktir. Lo kan udah janji mau nemenin gue latihan futsal hari
ini.” Gue mengangguk dengan wajah cemberut.
“
Gitu aja kok ngambek. Cepet tua ntar lo.”
Kali ini Rendi mencubit pipi gue sampai merah.
“
Aauuww sakit tauu..! Awas ya kalau ketangkap.” Gue mengejar Rendi yang berlari
menghindari amarah gue.
Beginilah
rutinitas gue dan Rendi sejak sebulan yang lalu. Kami berdua menjadi teman
dekat. Bahkan banyak yang mengira kami jadian. Walaupun dia nggak jadi pacar
gue tapi gue tetep ngerasa bahagia. Ternyata rencana tuhan emang selalu lebih
indah.
Saat
ini gue mau nikmati apa yang ada. Biarlah waktu yang menjawab perasaan suka
gue. Semua akan indah pada waktunya. Truth, selama lo mau mengakui dan jujur
sama perasaan lo sendrii. Atau. Dare, ketika
lo berani menyatakan perasaan itu. TRUHT or DARE.
- THE END -
Consalts Love
Hmm...LOVE..
sometimes it's diffidult to understand but it easy to felt...
Make us frustrated whit it...
But LOVE.. is so wonderfull..
so..
If you have a problem with your own love or your friend's love..
You can tell me... maybe I can help..
Don't be shy..You can trusted me..
I swear..
sometimes it's diffidult to understand but it easy to felt...
Make us frustrated whit it...
But LOVE.. is so wonderfull..
so..
If you have a problem with your own love or your friend's love..
You can tell me... maybe I can help..
Don't be shy..You can trusted me..
I swear..
Sabtu, 17 November 2012
Sabtu, 03 November 2012
Cinta
Lebih baik sakit karena merasakan cinta
daripada...
Tidak merasakannya
Bukan cinta yang datang dan kemudian pergi
Tapi cinta yang tulus dari lubuk hati
Lebih baik terpuruk karena memperjuangkan cinta
daripada...
Terpuruk karena memndam cinta
daripada...
Tidak merasakannya
Bukan cinta yang datang dan kemudian pergi
Tapi cinta yang tulus dari lubuk hati
Lebih baik terpuruk karena memperjuangkan cinta
daripada...
Terpuruk karena memndam cinta
Sabtu, 20 Oktober 2012
Lonely
Have you ever felt lonely?
No one there for you, no one can understand you.
They want you to cheer them but they're never cheer you when you down
and they think you always fun cause you always laugh in front of them
They can't realize your sadness behind your smile
They can't realize who you are? what do you feel? And anything about you?
No one there for you, no one can understand you.
They want you to cheer them but they're never cheer you when you down
and they think you always fun cause you always laugh in front of them
They can't realize your sadness behind your smile
They can't realize who you are? what do you feel? And anything about you?
Minggu, 07 Oktober 2012
Just A Kid
Every one always say, THEY JUST A KID
but they are never know that kid can be so dangerous
cause they will remember what you did to them
and everything is started since we kid
that's why dont do such thing to a kid
and never think THEY JUST A KID
cause they are gonna be grow up and they not be a kid forever
but they are never know that kid can be so dangerous
cause they will remember what you did to them
and everything is started since we kid
that's why dont do such thing to a kid
and never think THEY JUST A KID
cause they are gonna be grow up and they not be a kid forever
Langganan:
Postingan (Atom)