Rabu, 06 Februari 2013

" Ketika kita berniat dan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu,
kesempatan serta peluang seolah datang kehadapan kita dengan sendirinya "

Sabtu, 24 November 2012

TRUTH or DARE


TRUTH or DARE

          Nggak tau kenapa belakangan ini semua anak di sekolah gue selalu memainkan permainan ini. Tak mengenal kapan, dimana, dan bersama siapa. Bagaikan wabah penyakit yang sedang merebak di lingkunagn sekolah. Sejujurnya permainan ini memang menyenangkan, membuat perasaan tak karuan, degdegan, bahagia dan sebagianya. Permainan yang bisa bikin seseorang di benci ataupun di sukai.
          Pada dasarnya permainan ini sangat mudah dilalukan. Hanya dengan duduk melingkar, menyanyikan sebuah lagu sambil menepuk tangan atau mengoper sesuatu. Ketika lagu di hentikan, maka tepukkan atau operan harus di hentikan. Pada siapapun itu berhenti, dia harus menerima hukuman yang ada. Dia akan di beri kesempatan untuk memilih. Dia harus memilih antara truth atau dare. Truth, seperti namanya, kita harus membuat suatu penggakuan ataupun menjawab pertanyaan dari teman yang lain dengan jujur. Tidak boleh ada kebohongan sedikitpun. Dan pada umumnya untuk mencegah ada yang berbohong sebelum memulai permainan mereka akan membuat ancaman bagi yang tidak mau menjagalakan hukuman dan yang berbohong.  Dare , jika memilih yang satu ini maka dia harus mau melaksanakan tantangan yang akan di berikan, apapun itu. Sebagian besar orang lebih suka memilih yang satu ini, karena dengan begitu mereka tidak perlu kawatir rahasia mereka akan terbongkar. Karena alasan tadilah maka permainan ini di sebut TRUTH or DARE.
***
          Jam di dinding yang berada di dekat pintu terus berdetak, jarumnya menunjukkan pukull 11:45, jam istirahat kedua. Banyak murid yang berlalu lalang, keluar masuk kelas. Sementara itu gue dan Oca sedang asik mengobrol di kelas kami, 11 IPS 2.
Oca adalah teman sekelas sekaligus teman sebangku gue dari kelas sepuluh.  Kami selalu membagi cerita bersama. Tak ada rahasia antara kami berdua. Siang itu, kami duduk di kursi paling depan, dekat meja guru. Gue nggak dapat melihat murid-murid yang berlalu lalang, karena posisi duduk gue yang menghadap ke tembok.
          Obrolan kami sedang mencapai klimaksnya. Oca tengah bercerita mengenai seorang cowok yang baru saja pindah kesebelah rumahnya. Tiba-tiba saja ucapan Oca terhenti. Matanya terpaku ke satu arah. Dia terlihat sedang memfokuskan pandangannya.
          “ Ocaaa,,, trus gimana certinya?” tanya gue penasaran tanpa menghiraukan apa yang sedang dia perhatikan.
          Oca tidak menjawab pertanyaan gue. Dia justru menyenggol lutut kiri gue dan matanya memberi isyarat untuk melihat keluar kelas. Dengan isyarat yang di berikan Oca, gue menoleh kearah yang dia tunjukkan. Disana berdiri segerombolan murid cowok. Mereka bukanlah salah satu dari teman sekelas gue, mereka murid kelas 11 IPA 2. Awalnya gue sedikit bingung, ada apa anak IPA mampir ke kelas IPS. Di sekolah gue anak IPA dan IPS memang jarang berinteraksi selama jam sekolah. Hal ini dikarenakan kelas kami yang terletak bersebrangan. Pasalnya murid IPA berada di gedung sebalah barat sementara murid IPS berada di gedung sebelah timur, sedangkan gedung sekolahnya sendiri  berbentuk leter U yang mengarah ke utara. Sebagai pembatas murid kelas 10 berada di tengah-tengah.
          Kembali ke topik! Dari segerombolan murid cowok itu, ada satu yang menarik perhatian gue. Orang yang berdiri paling depan, sosok yang selama ini gue suka. Cowok dengan jaket hitam kehijauan, rambutnya yang sedikit ikal dengan ada bagian yang nyaris menutupi alisnya, dan badannya yang menjulang diantara murid cowok lainnya. Rendi namanya. Cowok yang selalu gue idam-idamkan, yang selalu muncul dalam  setiap hayalan gue.
          Melihatnya datang kekelas gue, hati gue terasa bahagia. Mawar pink bertebaran di atmosfer. Sesekali gue mencuri pandang kearahnya sambil berpura-pura memerhatikan orang yang berlalu lalang. Wajahnya terlihat bingung, matanya menjelajahi seisi kelas. Memandang dari sudut ke sudut. Hingga tanpa sengaja mata kami bertemu. Spontan gue memalingkan muka. Menyembunyikan wajah gue yang mulai memerah karena bahagia.
          Oh my god! Barusan mata kami bertemu. Hal yang kecil tapi bisa membuat gue jadi bahagia gini. Seandainya aja dia lebih sering mampir kekelas gue, mungkin gue bakal dikira kepiting rebus, gara-gara muka yang merah terus.
           “ Fira, dia ke sini tuh.” Oca menggerakkan kepala nya pelan. Oca dari tadi hanya terdiam sambil menahan tawanya melihat gue yang salah tingkah.
          “ Ih Oca bukannya nolongin temennya yang lagi salah tingkah, malah di ketawain.” Keluh gue pelan.
          Gue berusaha menengakan diri dan berusaha menyembunyikan perasaan gue. Kembali gue arahkan pandangan ke pintu masuk. Benar saja, Rendi sedang berjalan kearahgue. Setiap langkah kakinya membuat jangtung gue berdetak semakin kencang. Suranya kayak beduk lebaran atau mungkin terompet tahun baru. Semakin dekat Rendi melangkah, semakin cepat juga jantung gue berdetak. Bahkan sekarang gue bisa mendengar detakkannya. Tak berselang lama Rendi sampai didekat tempat duduk gue dan dia menghentikan langkahnya tepat di samping gue. Dengan ragu-ragu gue mengangkat wajah yang tertunduk ini.
 Bahagia memenuhi lubuk hati gue. Jantung gue berdetak tak karuan.  Bagai suara kembang api di malam tahun baru yang saling beradu keras. Menggambarkan perasaan gue yang juga tak karuan. Bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Gambaran dirinya memenuhi ruangan di otak gue. Dimata gue kini hanya ada wajahnya yang tengah melihat ke arah gue.
“ Lo Shafira kan?” tanyanya pada gue dengan sebuah senyuman lembut terkembang di wajah rupawannya.
“ Ng..ngg...iya..gue..Shafira. Kenapa ya?” nggak tahu mengapa rasanya badan gue nggak mau dengerin perintah gue. Sampai-sampai mau ngomong aja gagap. Kenapa sih ketika gue berada tepat dihadapan cowok yang gue suka bibir gue jadi kaku. Sulit untuk menyembunyikan perasaan suka gue ke dia, kalau gue sendri jadi salah tingkah kayak gini.
“ Gue mau bilang... kalau.. gue...” dia menghentikan ucapannya sejenak, membuat gue semakin penasaran. Seutas harapan terlintas di benak gue. Please, jangan sampai gue pingsan disini gara-gara kelewat bahagia. “Gue suka sama lo. Mau nggak lo jadi pacar gue?” lanjutnya.
Apa gue nggak salah denger nih. Rendi nembak gue? Mimpi apa semalam? Jantung gue berdetak semakin kencang. Kalau jangtung gue bisa keluar, pasti sekarang dia udah lompatan kemana-mana saking girangnya. Rasanya gue mau ngumumin ke dunia kalau barusan Rendi nembak gue. Ya tuhan kalau pun ini cuma mimpi, biarkan gue menikmati semua ini lebih lama. Dan jangan bangunkan gue dari mimpi indah ini.
“Mau nggak?” tanyanya lagi.
“ Iya, gue mau.” Jawab gue dengan malu-malu. Gue yakin pasti sekarang muka gue merah banget. Nggak pernah gue kira bahwa akhirnya mimpi gue jadi nyata.
Murid-murid cowok yang tadi berdiri di depan kelas gue dan menonton adegan romantis ini, sekarang mulai masuk satu persatu. Mereka semua tertawa dengan rasa puas dan kagum tergambar di wajah mereka.
“ Udahkan?”  Rendi membalikkan badannya dengan raut wajah yang mulai berubah. Salah satu dari murid cowok itu merangkul pundak Rendi. Cowok yang udah gue kenal. Dia adalah Aldi. Aldi, temen sekelas gue waktu di kelas sepuluh. Aldi tertawa kearah Rendi yang terlihat mulai jengkel.
“ Yup lo lulus. Salut gue sama lo. Bener-bener ngeyakinin banget bro. Kalau gue nggak tahu apa-apa , pasti gue kira lo nembak Fira beneran.” 
Perkataan Aldi barusan ngebikin gue bingung. Maksudnya apa ‘ngira nembak gue beneran’? Rasa bahagia yang tadi memenuhi lubuk hati gue mulai sirna diganti rasa bingung dan cemas. Oca yang dari tadi menyaksikan kejadian itu juga mulai bingung.  Gue memberanikan diri  bertanya pada Aldi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“ Di, maksud lo apa deh. Emangnya lo lagi pada ngapain sih?” tanya gue harap-harap cemas.
“ Oh ini, anak kelas gue lagi pada main truth or dare. Trus Rendi kena dan dia maunya dare. Gue suruh aja dia buat nembak lo dan kalau lo ngejawab iya berarti dia lulus. Yeah, lo kan susah bilang iya kalau ada yang nembak. Haha” tawa menghias seluruh wajah murid cowok yang tadi datang bareng Aldi dan Rendi. Gue Cuma bisa diem, menyimpan sejuta rasa malu.
“ Thanks ya Shafira..... Buat yang tadi, lo lupain aja. Anggep nggak pernah terjadi.” ucap Rendi cuek.
Gue hanya diam membisu. Otak gue masih terlalu lemah untuk membaca situasi yang ada. Akhirnya bel tanda masuk bernbunyi. Sekarang semua udah balik ke kelas masng-masing. Kebetulan  guru sosiologi gue lagi nggak masuk.
Oca menghelus lembut pundak gue yang masih tertunduk diam sejak kejadian tadi. Dia tahu betul apa yang sedang gue rasakan saat ini. Perasaan gue hancur berkeping-keping. Di bawa terbang ke luar angkasa kemudian dilempar ke bumi dengan kecepatan cahaya dan langsung menghantam permukaan bumi. Begitulah perasaan gue saat ini. Butiran debu yang memehuni setiap sudut ruangan.
“ Occa,, rasanya gue mau marah, nangis, teriak, pokonya gue kesel banget. Tapi gimana? Ini kan sekolah, gue bisa apa coba? Sumpah gue nggak habis pikir, kok semuanya jadi kayak gini? Nih ya, kalau gue bisa benci sama dia pasti gue udah benci. Tapi gue nggak bisa.” ucap gue yang masih duduk terdiam dengan wajah yang tak karuan.
“ Sabar Fir, jangan nangis.” Oca terlihat mulai panik.
“ Siapa yang nangis? Gue tuh cuma nggak nyangka, kenapa sih mereka jadiin gue taruhannya. Sialan banget tuh Aldi. Kenapa harus gue? Kenapa juga harus Rendi yang pura-pura nembak gue? Sumpah PHP banget. Dan begoknya, gue percaya gitu.”  Semakin gue mengingat kejadian tadi, semakin sesak dada ini.
“ Yah Fir, itukan bukan salah Aldi. Lo tahu sendirikan, Aldi tuh nggak tahu kalau lo suka sama Rendi. Lo harus tetep semangat! Semangat! Semangat!” hibur Oca.
“ Gue ngerti Ca, tapi lo liat nggak sih tadi. Rendi tuh nyatain perasaan nya dengan muka serius, that’s so real,  dan dengan gampangnya dia nyuruh gue buat ngelupain itu dan anggap itu nggak pernah terjadi. Kejam banget. Rasanya hati gue diiris-iris. Sakit Ca, sakit!” Muka gue udah dipenuhi sama kerutan. Gue Cuma bisa cemberut disamping Oca. Serba salah. Mau mara, sama siapa?  Mau nangis, buat apa? Apapun yang gue lakuin toh semuanya udah terjadi.
Oca merebahkan kepalanya di samping gue yang hanya tertunduk diam. Oca memeluk gue, untuk menyemangati gue.
“ Tenang aja Fira. Gue ada disini buat lo, kita kan sahabat.” Ucappannya Oca membuat air mata gue perlahan mulai berhenti. Gue memeluknya balik dengan erat. Thanks to Oca, tanpa dia gue nggak tahu harus ngapain. Bisa tambah malu gue kalau temen sekelas gue pada tahu, gue suka sama Rendi. Mau ditaruh dimana nih muka? Seenggak nya gue masih punya sahabat yang selalu ada buat gue, walaupun dia nggak bisa ngilangin rasa sakit dan sesak di dada gue.
***
Sesak, perih, sakit, malu, semuanya bercampur aduk. Seandainya bisa gue bisa menghilang dari muka bumi ini. Gue pasti udah ngilang dan gue nggak harus ngerasain semua ini. Dengan langkah yang tak tentu, gue berjalan menuju kamar gue tercinta.  Seketika badan gue lemas. Terduduk lemas di balik pintu dengan badan tersender pintu. Air mata yang dari tadi gue tahan, kini tak tertahankan lagi. Isak tangis dan teriakkan memenuhi seisi kamar .
“ Fira,,,,Ra,, kamu kenapa?”  gue bisa mendengar jelas suara nyokap gue dari balik pintu ini. 
“Nggak.. ma Fira nggak apa-apa kok. Tadi Cuma ada kecoak aja.” 
“ Oh yaudah kalau gitu. Jangan lupa makan ya! Mama masak ayam bakar kesukaan kamu.”
“Iya ma, nanti Fira makan.”
Kamar ini jadi pelampiasan gue. Semua terlihat begitu kacau, seperti baru kena angin topan. Tapi perasaan gue belum juga membaik. Rasa itu masih sama namun tenaga sudah tidak ada. Alunan lagu yang keluar dari radio yang hidup kena lembaran botol miinum membawa gue ke alam mimpi. Hingga terlelap dalam tidur. Mengakhiri mimpi buruk ini, untuk sementara.
***
Dua hari telah berlalu sejak hari itu. Semua berjalan seperti biasanya. Tak ada satu pun yang berubah. Begitu juga perasaan gue, masih campur aduk sperti waktu itu. Hati gue bukan sebuah komputer atau kartu memory yang bisa di format ulang. Gue udah berusaha buat ngelupain dia, tapi nggak semudah itu buat ngilangin perasaan yang terlanjur ada.
Kelas gue berubah jadi cafe dadakan. Anak-anak lagi pada sibuk sendiri. Ada yang ngobrol, makan, minum,tidur, dengerin lagu dan sebagainya. Seharusnya sekarang kelas gue belajar Matematika, namun kebetulan bu Tuta sedang keluar kota. Dan satu lagi, hari banyak anak-anak yang nggak masuk. Alasannya bermacam-macam, dari sakit, bolos sampai ditugasin keluar.
Badan gue rasanya lemes semua, gue Cuma diam sambil ngerebahin kepala gue diatas meja. Oca yang melihat gue lemes terus kelihatannya mulai khawatir.
“Fira, lo sakit ya?” di wajah Oca jelas terlihat kekhawatiran. Oca meletakkan tangannya di dahi gue, buat ngecek apakah gue sakit atau nggak.
“ Apaan sih ca? Gue nggak apa-apa kok Cuma ngantuk aja.” Elak gue sambil ngelepasin tangan Oca dari dahi gue.
“  Lo yakin Cuma ngantuk? Tapi lo lemes banget. Ini pasti gara-gara....”
“ Rosa,,, gue nggak apa-apa kok. Liat nih! Gue udah move on kok. Gue udah ngelupain semua tentang dia. Semuanya. Jadi lo nggak usah kawatir! Blee.. “ gue menghentikan perkataannya dengan menjulurkan lidah. Yang di balas dengan cubitan darinya.
“ Ih Fira orang serius dia malah becanda. Nggak lucu tahu.” Sewot Oca. Kami berdua tenggelam dalam tawa. Namun dibalik setiap tawa dan canda gue bareng Oca tersirat seberkas kepedihan yang nggak dia ketahui.
Sejujurnya gue sama sekali belum bisa ngelupain Rendi. Suaranya waktu nembak gue dan nyuruh gue buat nganggep nggak pernah terjadi apa-apa juga masih terngiang di kuping gue sampai hari ini. Dan bilang kalau gue udah ngelupain dia, rasanya kayak ngiris hati gue sendiri. Nggak ada niat untuk ngeobohongi Oca tapi mau gimana lagi, gue nggak mau kalau sahabat gue jadi kawatir. Udah cukup semuanya sampai disini aja.
“ Main truth or dare yukk!” teriak salah seorang teman sekelas gue.
“ Ide bagus tuh. Semua harus ikut ya! Wajib! Kalau nggak ikut veter.” Sambung yang lainnya. Sontak teman-teman sekelas gue yang tadinya sibuk sendiri, sekarang udah maju kedepan dan duduk dengan formasi bentuk lingkaran. Mendengar kata TRUTH OR DARE, masih membuat dada gue sakit. Tapi paling enggak, gue bisa nyibukin diri dan bikin ngelupain apa yang udah terjadi. Gue pun duduk di sebelah Oca.
Setelah semua anak duduk dengan rapi, permainan pun dimulai. Entah ini hari keberuntungan gue atau kesialan gue? Baru dimulai gue udah kena. Daripada nanti rahasia gue kebongkar, gue milih dare. Anak-anak nantang gue buat naik keatas meja sambil nari-nari nggak jelas. Siapa takut? Selama ini nggak didepan orang yang gue suka dan nggak ada rahasia gue yang kebongkar. Hukuman buat gue pun selesai.
Permainan dilanjutkan lagi, satu persatu teman gue kena hukuman. Lagu demi lagu telah dinyanyikan, hukuman demi hukuman telah diberikan. Tak terasa waktu pelajaran sudah akan usai. Namun, tak satupun dari  kami yang inging menghentikan permainan yang tengah berlangsung ini. Suasana semakin seru. Banyak rahasia yang telah terbongkar.
Sebuah tepukkan tangan mendarat di telapak tangan gue. Semua mata tertuju pada gue. Sialan, ternyata lagi-lagi gue kena giliran. Wajah teman-teman sekelas gue, seketika berubah. Kelicikan, terlihat di wajah mereka. Perasaan gue mulai nggak enak.
“ Gue milih dare ya...” ucap gue ragu. Sebuah lebar dengan rasa khawatir terpampang di wajah gue.
“ Mana bisa? Tadi lokan udah milih dare, masa mau dare lagi.” sambung salah seorang teman sekelas gue.
“ Yah kok gitu? Ayolah baik deh.”
“ Nggak bisa. Peraturan tetap peraturan!” ucap Puput dengan tegas.
Puput -wakil ketua kelas- beserta anak yang lainnya membentuk lingkaran dan merundingkan pertanyaan apa yang akan di berikan pada gue. Terdiam dalam harap. Ketakutan jelas terpancar di wajah gue. Detak jantung gue mulai tak karuan, menunggu keputusan mereka. Harusnya, ini Cuma permainan tapi entah mengapa jantung gue rasanya mau copot.  Setelah melewati perundingan yang alot, mereka memutuskan pertanyaannya.
“ Jujur ya! Siapa cowok yang lo suka di sekolah ini? Jujur lo jangan bohong!” pertanyaan Puput seketika membuat mata anak-anak tertuju pada gue. Tatapan mereka begitu tajam, menunggu jawaban yang akan gue berikan.
Dalam keadaan seperti ini seketika,pikiran gue kosong, badan gue lemas. Nama Rendi memenuhi otak gue. Rasanya gue ingin meneriakkan namanya, agar ketegangan ini berhenti. Namun, setelah kejadian dua hari yang lalu. Tak ada keberanian untuk mengucapkan namanya. Gue ngalihin pandangan gue ke Oca. Dia hanya membalas dengan mengangkat pundaknya pelan sebagai tanda bahwa dia menyerahkan semuanya pada gue.
Detik demi detik terus berlalu. Mereka terlihat mulai merasa geram dengan gue yang tak kunjung menjawab pertanyan itu.
“ Shafirra... cepet jawab!” teriakkan itu sontak membuat gue makin bingung.
“ Gue......hhmmmmm....” gue berusaha untuk mengucapkan apa yang harus gue katakan. Bibir ini tidak mau mendengarkan perintah gue. Kata demi kata rasanya sulit untuk diucapkan. Bibir gue seolah membeku.” Gue suka sama Rendi.” Bisik gue, berharap nggak semuanya mendengar dan mereka akan menghentikan semua ini.
“ Siapa? Nggak kedengeran Fira.” Ucap Puput yang disambut teriakkan dari anak-anak yang lain. Gue ngerasa jadi orang paling bego. Pertanyaan segampang itu, harusnya gue bisa jawab dalam lima detik.
“ ...R...ee..ndi.”
“ Maksud lo Rendi anak IPA 2?” Puput terus saja memojokkan gue. Please, stop it! Sumpah gue nggak kuat. Rasanya air hujan mau turun dari mata gue. Perasaan gue meletup-letup kayak kompor yang mau meledak.
“ GUE SUKA SAMA RENDI ANAK IPA 2. Puas lo semua.” Tanpa gue sadari gue berteriak ke anak-anak. Mereka hanya terdiam kaget, mendengar teriakkan gue barusan.  Dan gue baru sadar kalau teriakkan tadi kedengeran sampai kekelas lain.
Dengan rasa malu gue narik tangan Oca dan segera ngajak dia kekantin. Gue berjalan kearah pintu kelas yang sudah terbuka. Tanpa diasadari bel istirahat telah berbunyi dari tadi. Disana ada beberapa anak kelas lain yang menatap gue dengan pandangan setengah terkejut. Kelihatannya mereka dengar pernyataan gue.
Belum sampai gue keluar kelas. Tepat di depan pintu berdiri seorang cowok dengan badan yang menjulang diantara anak-anak yang lainnya. Sosok yang nggak asing buat gue. Gue mengangkat wajah gue buat mastiin siapa sebenernya cowok itu. Betapa terkejutnya gue? Ketika gue sadar cowok itu adalah Rendi. Sekejap badan gue rasanya beku. Sekilas gue ngerasa dia mandangin gue dengan tatapan yang aneh. Betapa bodonya gue? Pasti dia ill feel sama gue.
Gue bersikap seolah nggak terjadi apa-apa. Sebuah senyum polos gue lemparkan padanya. Oca yang sadar sama apa yang gue rasain, gantian narik tangan gue dan kami mempercepat langkah kami. kami berjalan menuju perpustakaan. Tempat yang sepi dan jarang dikunjungi jam istirahat.
Perjalanan dari kelas gue ke perpustakan yang hanya memakan waktu lima menit terasa bagaikan lima puluh menit. Secara otomatis gue melangkahkan kaki ke arah meja yang ada di pojok. Diikuti Oca yang berajalan dibelakang gue. Sebelum duduk Oca ngambil satu buku buat dia pegang. Biar kelihatannya disedang membaca. Di balik buku itu gue Cuma tertunduk diam membisu. Oca menepuk-nepuk pundak gue untuk menyemangati gue yang lagi terpuruk.
Tak pernah terbayang sebelumnya, rasa suka gue yang selama ini gue pendam berubah jadi bencana buat gue. Apakah ini sebuah kesalahan buat suka sama seseorang? Kenapa semua jadi begini? Semua datang bertubi-tubi. Yang anehnya semua ini berawal dari Truth or Dare. Mulai dari dia pura-pura nembak gue sampai pertanyaan suka gue di depan umum. Kalau biasanya gue udah kekantin, sekarang gue sama sekali nggak ngerasa laper. Gue udah kenyang sama semua hal yang memalukan ini. Sudah hampir setengah jam berlalu. Oca masih setia menemani gue yang masih berusaha menahan air mata. Bel masukpun berbunyi, menandakan dimulainya penderitaan gue yang baru.
Langkah kaki gue terasa lebih berat daripada biasanya. Pintu masuk kekelas terlihat begitu menakutkan. Berapa anak cowok yang sedang berdiri memerhatikan gue. Gue berasa kayak artis dadakan. Dengan kebulatan tekad gue memasuki kelas. Diluardugaan, tak satupun dari teman sekelas gue yang membahas apa yang baru saja terjadi.
Detik demi detik berlalu. Menit demi menit berlalu. Jam demi jam juga terus berlalu. Suara bel yang memekakan telinga menutup pelajaran yang membosankan itu. waktu berjalan begitu lambat. Hari ini Oca janji buat nganterin gue pulang. Kami berjalan bersama-sama ketempat parkiran. Oca tetap berusaha untuk menghiburku.
“ Ayolah Fir, semangat! Masa lemes sih? kan nggak seru!”
“ Tenang aja aku nggak apa-apa kok. Emang kayaknya gue kurang makan nih jadi lemes gini deh.”
“ Rosa, kesini sebenta! Ibu mau minta tolong sebentar.” Ditengah-tengah obrolan gue dan Oca, bu Ai guru Bahasa Inggris kami meminta bantuan pada Oca.
“ Yah, Fir. Gue dipanggil bu Ai nih. Lo duluan aja ke parkiran sana! Nanti gue nyusul.” Usul Oca.
“ Yaudah, jangan lam-lama! Gue mau cepet-cepet nyampe rumah. Capek nih.”
“ Sip deh tenang aja.” Oca berjalan di balakang bu Ai. Gue berjalan ke arah perkiran yang nggak jauh. Otak gue masih sama kayak tadi. Kosong dan nggak tahu harus ngapain.
Motor-motor berjajar dengan rapinya. Menuggu dengan setia hingga pemiliknya kembali. Berbagai jenis motor terparkir disana. Namun ada satu yang terlihat menarik. Motor Oca yang kecil ia parkirkan didekat sebuah motor yang tinggi. Bagiku sekilas ini terlihat begitu lucu.
Gue menunggu Oca tepat disebelah motornya. Tas gue bergetar. Sepertinya ada panggilan di hp gue. Gue melepas tas ransel yang gue kenakan. Ketika sedang mengambil hp , tanpa sengaja gue ngejatuhin kunci rumah gue.
Di layar hp gue tertera nama Oca. Segera gue angkat panggilan itu.
“ Fira.” Suara Oca terdengar begitu jelas.
“ Iya ca. Kenapa?”
“ Kayaknya gue bakal lama deh. Kalau lo mau duluan, duluan aja! Nggak apa-apa kok.”
“ Ah gue males pulang sendirian. Gue nungguin lo disini aja deh.”
“ oh yaudah kalau gitu. Tapi lama nggak apa-apa nih? Sorry ya.” Suara Oca terdengar lirih.
“ yailah Ca, santai aja kali. Gue juga males pulang sendiri. Gue tunggu ya!”
“ Iya deh. Bye.”Oca mengakhiri pembicaraan kami di telpon. Gue jadi penasaran Oca lagi ngapain ya? Ah tapi guekan udah bilang kalau gue bakal nunggu disini. Gue nugguin dia aja deh.
Gara-gara tadi cepet-cepet ngangkat telpon dari Oca, gue sampai lupa. Kunci guekan jatuh. Tepat ketika gue ngebalikin badan buat ngambil kunci itu, ada seseorang yang udah berdiri dibelakang gue. Sontak dia dan gue kaget. Badan kami seolah terdorong kebelakang. Hampir saja gue hilang keseimbangan. Beruntung gua nggak jatuh.
“ Sorry.”
“ Gue juga minta maaf udah ngagetin lo. Oh iya ini kunci lo ya Shafira?”
“ Hah iya. Thanks ya. Kok lo tau n......”  gue ngentiin ucapaan gue ketika gue sadar kalau yang nemuin kunci gue itu Rendi. Rendi menatap gue dalam-dalam. Jantung gue mulai berdetak nggak karuan. Gue nggak ngerti harus ngapain.” Sekali lagi thanks ya.” Gue nggak berani lama-lama berdiri di hadapan dia. Sebisa mungkin gue pergi dari sana.
“ Eh bentar.” Belum sempat gue pergi Rendi udah narik tangan kiri gue. Dengan berat hati guepun berhenti.
Gue berusaha bersikap biasa. Seolah nggak terjadi apa-apa. Gue narik napas dalam dan mulai berbicara.” Kenapa?”
“ Eh sorry..” Rendi melepas genggamannya di tangan gue. Walaupun tangannya udah nggak megang tangan gue tapi gue masih bisa ngerasaiin hangatnya genggamannya.” Gue Cuma mau nanya.....yang lo bilang tadi beneran?” Wajah Rendi terlihat ragu-ragu.
“ Maksudnya?” entah mengapa gue nggak ngerti apa yang dia ucapkan.
“ Maksud gue....lo beneran suka sama gue?”
Mati gue! Pertanyaan Rendi barusan, kayak peluru yang ditembakin tepat kesasaran. Mimpi apa gue? Gue ngaku kalau gue suka sama cowok, di depan cowok itu dan di depan teman sekelas gue. Betapa bodohnya gue? Sekarang gue harus jawab apa?
“ Hmmmm... sebenernya... sebenernya..” sekali lagi bibir ini membeku.
“ Sorry kalau gue nanya kayak gini ke lo. Tapi gue harap lo jawab dengan jujur!” perkataan Rendi bagaikan mentari yang menyinari bibir gue yang membeku.
Dengan sebuah tarikan napas yang panjang, gue mulai memberanikan diri. “ iya, semua yang gue bilang itu bener. Gue suka sama lo dari pas pembagian kelas. Tapi lo tenang aja, gue ngerti kok kalau lo nggak suka sama gue. Dan gue Cuma harap lo nggak akan ngebenci gue ataupun iil feel sama gue.” Rasanya mata ini hampir bocor. Kelopak mata ini sudah tidak kuat menahan air mata yang tertampung sejak tadi.
Raut wajah Rendi mulai berubah. Apa dia bakal benci sama gue? Gue bakal nerima apa pun yang akan terjadi. Sesekali gue mejamin mata. Dada gue mulai terasa sesak. Perasaan campur aduk memenuhi dada gue. Rendi memegang pundak gue.
“ Gue nggak bakal benci atau illfeel sama lo. Gue malah mau minta maaf, gara-gara ucapan gue waktu itu. Sumpah gue sama sekali nggak tahu kalau lo suka sama gue. Seandainya gue tahu, gue nggak bakal mau pura-pura nembak lo dan nyuruh lo buat nganggep semua itu nggak pernah terjadi.” He’s so gentle. Di keadaan kayak gini cowok lain pasti udah nganggep ngerasa ill feel sama gue dan bahkan ngeledek gue. Tapi Rendi nggak. Dia justru ngerasa bersalah. Itulah yang bikin gue suka sama dia. Di wajahnya jelas terpancar rasa bersalah.
“ Nggak kok Ren, ini bukan salah lo. Nggak ada yang salah. Mungkin emang udah takdirnya gue kayak gini.”
“ Sumpah ra, gue nggak enak sama lo.” Suara Rendi yang berat seolah menggema di otak gue. Sepercik harapan mulai tumbuh di hati gue.
“ Yaudahlah...nggak usah dipikirin. Mungkin emang seharusnya kita nganggep semua ini nggak pernah terjadi.” hari gue teriris. Gue nggak mau harapan ini terus tumbuh. Gue takut bakal berakhir menyakitkan. “ Udah ya gue mau nyusulin Oca.”
“ Shafira, kalau kayak gitu ini nggak adil buat lo. Gimana kalau kita mulai dari awal, jujur semenjak gue disuruh nembak lo. Lo menarik perhatian gue, nggak tahu kenapa? Tapi yang jelas gue pengen lebih ngenal lo.” Sebuah senyuman terukir di wajahnya yang tampan.
“ Maksudnya?” Rendi tidak menjawab pertanyaan gue barusan. Ekspresinya berubah. Tangannya menutupi wajahnya. Tak lama, dia tertawa. “ ihh ditanyain kok malah ketawa?”  Rendi masih saja tertawa. Dia nggak nanggepin pertanyaan gue. Hal ini bikin gue salah tingkah, gue jadi bingung. Apa gue ngelakuin sesuatu yang salah?
“ Sorry...sorry...abisan lo tuh lucu banget sih. Masa gitu aja nggak ngerti?”
“ Iya maaf kalau gue lemot. Gue emang nggak sepintar lo yang anak IPA dan anggota KIR. KIR yang isinya orang pinter semua.”
“ Yah jangan marah dong. Gitu aja kok marah?” Suasana diantara gue dan dia mulai berubah. Rasa takut gue perlahan-lahan mulai menghilang.” Maksud gue,For this time, let’s be friend!” Rendi mengulurkan tangan kananya. Gue menyambut uluran tangan itu dengan senyuman kebahagian. Senyumannya membuat gue lupa semua yang udah terjadi.
“ Gue Rendi.”
“ Gue Shafira, tapi lo bisa manggil gue Fira.” Balas gue.
Tak pernah sebalumnya, tak pernah gue duga, kalau gue bisa deket sama dia. Jabat tangan ini adalah awal dari hubungan kami. Angin bertiup lembut, memberi selamat pada gue. Saking senangnya gue pengen loncat. Kami berdua tenggelam dalam tawa hingga Oca muncul.
Oca menatap gue dengan tatapan penuh tanya. Namun, gue terlalu bahagia buat nyeritaan semua ini sekarang. Dengan muka yang bete Oca menghidupkan motornya. Rendi yang telah berdiri di dekat motornya melambaikan tangan ke gue. Jantung gue yang tadinya nggak karuan, sekarang mulai berdetak mengikuti sebuah irama. Irama kebahagian. Lambaian tangan mengakhiri hari gue yang aneh.
***
“ Fira, lo mau makan apa? Biar gue traktir.” Ucap Oca disela langkah kami menuju kantin.
“ Apa ya?... Oh iya gue mau bakso, mie ayam, pop ice, trus...”
“ Waduh, gue bisa bangkrut kalau kayak gitu. Jangan banyak-banyak dong Fir. Itu perut apa gentong?” Oca memotong perkataan gue yang mulai ngelantur. Hari ini Oca janji mau traktir gue. Dia baru jadian sama Adi, tetangga barunya yang waktu itu pernah dia ceritain ke gue.
“ Hahaha... iih apaan sih Ca? Iya-iya, gue maunya di traktir soto seporsi sama minumnya teh poci. Deal?”
“ Hmmmm.. deal.”
Setelah membeli apa yang kami inginkan, kami berdua duduk di kursi paling pinggir dekat jalan menuju kantin. Gue bahagia jika sahabat gue yang satu ini bahagia. Hari ini, satu bulan setelah kejadian truth or dare waktu itu. Untung nggak ada anak-anak yang ngungkit-ngungkit masalah itu.
Oca lagi sibuk meniup sotonya yang panas. Gue sendiri lebih milih buat nunggu sotonya dingin dulu, dan sambil nunggu gue minum teh poci. Tiba-tiba Oca menghentikan aktivitasnya.
“ Fir, lo sama Rendi gimana?”  sontak pertanyaan Oca mangagetkan gue.
“ Gimana apanya? Ya nggak giman-gimana.”
“ Ihh Fira, maksudnya lo ada niat buat jadian nggak sama dia? Secara, sekarang lo kan udah deket sama dia.”
“ Kalau itu sih, biarin waktu yang ngejawab.”  Oca jela terlihat tidak puas dengan jawaban gue. Tapi sekarang gue emang Cuma mau nikmati apa yang ada.Tanpa mikirin Oca yang maish penasaran, gue tetep ngelajutin minum teh poci.
“Aduh gue haus banget nih, bagi ya Fir!” Keasikan gue terhenti ketika seseorang ngerebut minuman gue dari belakang.
“Ihh apaan sih lo...”  gue memalingkan wajah gue kearah orang yang udah minum minuman gue. “ Rendiiiiii.....ke biasan banget sih lo!”
“ Yailah Fir, jangan pelit sama gue!” Rendi mengacak-ngacak rambut gue.
“ Rennndiiiii.....” teriak gue ke kupingnya.
“ Fira, jangan teriak di kuping gue!” Rendi memegang kuping kirinya.” Rosa gue minjem Firanya ya.” Tanpa minta ijin sama gue terlebih dahulu, Rendi langsung menarik tangan gue. Oca hanya mengangguk, dia terlihat senang melihat gue sengsara begini.
“ Rendi gue kan mau makan, lagi ditraktir soto sama Oca. Sotonya belum gue makan lagi.”  ucap gue dengan wajah memelas.
“ Udah nanti gue traktir. Lo kan udah janji mau nemenin gue latihan futsal hari ini.” Gue mengangguk dengan wajah cemberut.
“ Gitu aja kok ngambek. Cepet tua ntar lo.”  Kali ini Rendi mencubit pipi gue sampai merah.
“ Aauuww sakit tauu..! Awas ya kalau ketangkap.” Gue mengejar Rendi yang berlari menghindari amarah gue.
Beginilah rutinitas gue dan Rendi sejak sebulan yang lalu. Kami berdua menjadi teman dekat. Bahkan banyak yang mengira kami jadian. Walaupun dia nggak jadi pacar gue tapi gue tetep ngerasa bahagia. Ternyata rencana tuhan emang selalu lebih indah.
Saat ini gue mau nikmati apa yang ada. Biarlah waktu yang menjawab perasaan suka gue. Semua akan indah pada waktunya. Truth, selama lo mau mengakui dan jujur sama perasaan lo sendrii.  Atau. Dare, ketika lo berani menyatakan perasaan itu. TRUHT or DARE.

- THE END -



Consalts Love

Hmm...LOVE..
sometimes it's diffidult to understand but it easy to felt...
Make us frustrated whit it...
But LOVE.. is so wonderfull..

so..
If you have a problem with your own love or your friend's love..
You can tell me... maybe I can help..
Don't be shy..You can trusted me..
I swear..

Sabtu, 17 November 2012

I want to dissapear from this world or I hope I can be someone else...
I'm tired with my life..
I'm sick of this
No one can understand me..
buttt..
I want to be strong...
I want to show to them that I can do anything without them...
Yeaahh I have to be strong..
So .....

Sabtu, 03 November 2012

Cinta

Lebih baik sakit karena merasakan cinta
daripada...
Tidak merasakannya
Bukan cinta yang datang dan kemudian pergi
Tapi cinta yang tulus dari lubuk hati
Lebih baik terpuruk karena memperjuangkan cinta
daripada...
Terpuruk karena memndam cinta

Sabtu, 20 Oktober 2012

Lonely

Have you ever felt lonely?
No one there for you, no one can understand you.
They want you to cheer them but they're never cheer you when  you down
and they think you always fun cause you always laugh in front of them
They can't realize your sadness behind your smile
They can't realize who you are? what do you feel? And anything about you?

Minggu, 07 Oktober 2012

Just A Kid

Every one always say, THEY JUST A KID
but they are never know that kid can be so dangerous
cause they will remember what you did to them
and everything is started since we kid
that's why dont do such thing to a kid
and never think THEY JUST A KID
cause they are gonna be grow up and they not be a kid forever